A. Kebudayaan Nias, aslinya dari mana?
B. Suku Nias, asal usulnya dari mana?
C. Bahasa Nias, asalnya dari mana?
Sehubungan dengan ketiga pertanyaan itu, saya ingin menarik perhatian para ahli linguistik pada misteri Nias. Secara hipotetis dan spontan saya mencoba memberi suatu jawaban atas ketiga pertanyaan itu, melukis suatu gambaran Nias yang retrospektif, sekaligus sebagai suatu visi inspiratif bagi para ahli linguistik yang diharapkan membongkar misteri asal usul bahasa Nias.
A. Kebudayaan Nias
Kebudayaan Nias seperti kita kenal pada masa ini, rupanya belum begitu tua, sekitar 500 tahun. Dinilai baru, bukan dalam arti baru diciptakan, melainkan dalam arti baru diterima di pulau Nias sebagai pemasukan dan kemudian merupakan faktor terpenting dalam proses kemajuan. Besar kemungkinan pemasukan budaya yang baru itu, yang kemudian dijadikan kebudayaan Nias, berasal dari Cina. Budaya Cina itu mulai memasuki pulau Nias sejak limaratusan tahun yang lalu oleh imigrasi sekelompok orang keturunan Cina di wilayah kecamatan Lahusa dan kecamatan Gomo, Nias Tengah. Kelompok pendatang yang baru itu memiliki pengetahuan dan ketrampilan di berbagai bidang, maka kedatangan mereka membawa perubahan dan kemajuan bagi masyarakat Nias. Lama-kelamaan budaya mereka menjadi dominan di pulau Nias. Secara singkat saya menyebut beberapa bidang kemajuan,misalnya: arsitektur, pertukangan, pertanian, peternakan dan tenunan. Juga kemajuan dalam hal kultur megalitik, patung, silsilah dan kasta.
Marilah kita melihat peta geografi. Berhadapan dengan pantai timur Nias di kecamatan Lahusa, 110 km lurus ke sebelah timur, terletak pelabuhan dan kota Cina Singkuang di pantai baratSumatra. Limaratusan tahun yang lalu, di Singkuang sudah terdapat sebuah galangan kapal. Orang yang mahir dalam pertukangan kapal juga mampu membangun rumah adat sebagaimana kita kagumi di Nias. Secara hipotetis kita simpulkan: Pada suatu ketika sekelompok kecil, pendatang dari Cina atau dari Singkuang, mendarat di pantai timur Nias, kini termasuk kecamatan Lahusa dan Bawölato. Mereka ini merupakan golongan minoritas di antara penghuni Nias yang sudah lama (telah kian ada), sehingga bahasa Cina tidak dapat dipertahankan dan makin hilang. Tinggal beberapa kata atau nama saja yang mungkin masih merupakan warisan dari bahasa Cina dulu, seperti nama-nama leluhur Hia dan Ho atau nama sungai Ho dan sungai Gomo. Barangkali nama leluhur Sihai berasal juga dari istilah Gehai yang sampai sekarang dipakai di Nias untuk orang Cina. Saya juga pernah mendengar bahwa orang Cina di Surabaya disebut Sihai.
Seandainya hipotesa ini benar, bahwa ada keturunan atau pengaruh Cina di Nias, maka perkembangan di Nias dapat dilihat sama seperti perkembangan di seluruh Indocina, yang kini meliputi keempat negara: Vietnam dengan Teluk Tonkin, Laos, Thailand dan Kamboja. Diketahui bahwa kebudayaan suku-suku asli di Indocina pada suatu ketika mulai dipengaruhi oleh kebudayaan kedua bangsa besar dari luar yaitu India dan Cina, sampai kebudayaan setempat makin tersingkir dan kebudayaan Cina menjadi dominan di sebelah utara di wilayah Tonkin, dan kebudayaan India menjadi dominan di sebelah selatan Indocina. Karena itu, pilihan nama Indocina sangatlah tepat, artinya wilayah yang dipengaruhi oleh India dan Cina.
B. Asal usul suku orang Nias
Hipotese yang berikut menyangkut suku orang Nias. Selama ini selalu terdengar orang bicara tentang suku Nias, seolah-olah masyarakat Nias hanya terdiri dari satu suku atau satu etnis saja. Saya ingin mengatakan bahwa suku orang Nias, dalam arti hanya satu suku yang homogen, memang tidak ada. Yang ada sekarang ialah masyarakat Nias yang berasal dari sekian banyak suku atau etnis yang berbeda-beda.
Dalam proses sejarah selama ribuan tahun selalu muncul pendatang yang baru, yang memasuki pulau Nias dan juga selalu terjadi pembauran, sehingga lambat laun terjadi satu masyarakat Nias yang sulit dibedakan lagi asal usul mereka. Dimana tidak terjadi pembauran, karena perbedaan budaya atau agama kurang mengizinkan, di situ terjadi pembentukan kasta-kasta kaum Salawa dan Si’ulu (tingkatan bangsawan)atau di pemukiman keturunan orang Aceh, Minang atau Bugis. Di mana saja pembauran kelompok-kelompok belum terwujud sepenuhnya, tentu kehadiran mereka di pulau Nias masih baru.
C. Bahasa Nias – asalnya dari mana?
Tinggal lagi pertanyaan ini: Lingua Nias, bahasa Nias, Li Niha, – asalnya dari mana?
Kami mengakui tidak dapat menjawab pertanyaan ini. Secara hypotetis pun tidak. Di pulau Nias masih terdapat banyak hal yang belum terungkap dan yang menantikan penelitian lebih lanjut. Dr. Lea Brown, seorang ahli linguistik dari Australia yang telah menulis disertasi doktoralnya tentang bahasa Nias Selatan berjudul “A grammar of Nias Selatan”, mengatakan dalam suatu wawancara: “Barangkali misteri terpenting, dan yang paling menarik bagi para ahli bahasa, adalah ciri khas gramatikal Li Niha yang hingga sekarang tidak dikenal dalam bahasa-bahasa lain di dunia.”
Di bawah ini kami hanya mencatat beberapa indikasi, yang mungkin dapat berguna dalam usaha menjejaki misteri atau asal usul bahasa Nias, Li Niha.
1. Istilah Li Niha
Dugaan kami, istilah ini juga dipengaruhi oleh Cina. Berdasarkan silsilah-silsilah di Nias, para pendatang (dari Singkuang) menyebut diri Niha (=Manusia). Dalam hal ini semua penghuni Nias sebelumnya seolah-olah dipandang lebih rendah. Niha menjadi seperti suatu merk u.p. Made in Germany. Sejak itu terdapat fato niha (kapak Manusia), fafa niha (papan Manusia), omo niha (rumah Manusia) dst., akhirnya juga ono niha (anak Manusia, kini identik dengan orang Nias) dan Tanö Niha (tanah Manusia, negeri Nias) sebagai nama baru untuk pulau Nias. Gejala untuk memandang orang lain lebih rendah masih dapat dilihat di Nias Selatan, di mana para bangsawan (Si’ulu) dipandang sebagai orang tua dalam desa dan masyarakat lain seperti anak. Pada zaman dulu, katanya, Nias tidak disebut Tanö Niha, melainkan Hulo Keke, pulau burung kekek.
Dalam bahasa Nias, Li berari: suara, perkataan, titah. “Rongo li namau!” “Dengarlah suara bapakmu!” Yang sangat dijunjung tinggi di Nias ialah: berbicara dan mendengar, di mana orang tidak bisa bertatap muka untuk saling mendengar, di situ Li (suara) membutuhkan tempat duduk, taroma. Taroma Li adalah tempat duduk bagi suara, tempat duduk bagi sabda”, u.p. seorang utusan atau selembar surat atau suatu buku.
2. Indikasi dari bidang Arkeologi
Bulan Agustus tahun 1999, Drs. Yusuf Ernawan, M. Hum., ahli prasejarah dari Universitas Airlangga, Surabaya, atas undangan dan dengan kerja sama dengan Museum Pusaka Nias, Gunungsitoli, telah mengadakan ekskavasi pertama di dalam gua Tögi Ndrawa di pulau Nias. Ternyata gua itu dulu sudah lama dihuni. Dalam penelitian di Institut Radiocarbon di kota Heidelberg, Jerman, umur sampel tanah yang berasal dari penggalian 140 cm dalamnya dipastikan dengan ± 9.000 tahun, persisnya dari tahun 7570 – 7145 SM.
Menyusul Balai Arkeologi Medan yang telah tiga kali mengadakan ekskavasi di dalam gua tersebut dan sudah menggali 283 cm dalam. Dating kini masih dinantikan. Tetapi dugaan para ahli, bahwa gua itu sudah dihuni pada akhir Pleistosen atau awal Mesosen. Jadi besar kemungkinan, bahwa Nias sudah dihuni sekitar 15.000 tahun yang lalu dalam periode Hoa Binh . – Apakah bahasa Nias yang kita pakai sekarang sudah berasal dari para penghuni Nias yang hidup pada masa Pleistosen atau awal Mesosen itu? Kalau bahasa Nias tidak dapat dipadukan dengan rumpun bahasa lain di Indonesia, hal ini boleh terjadi karena dasar bahasa itu sangat tua, suatu relik dari zaman dulu. Dalam hal ini kita menantikan penelitian lebih lanjut dari para arkeolog di gua Tögi Ndrawa atau di gua-gua lain di Nias. Terdapat banyak gua alamiah di Nias. Tetapi hanya sebagian kecil dari semua gua yang layak dihuni. Tempat itu harus cerah, pagi hari disinari matahari, terlindung dari air, kering dan nyaman. Gua itu harus di lereng gunung, karena tanah datar pada zaman dulu digenangi air laut sesudah zaman es. Misalnya gua Tögi Ndrawa terletak 130 m di atas muka laut dan menghadap ke timur. Jadi jumlah penghuni Nias pada zaman dulu yang hidup di dalam gua tentu tidak banyak. Leluhur mereka menurut keyakinan saya adalah Lature Danö (terdapat sekitar 12 variasi nama itu), karena lokasinya dalam mite selalu disebut arö danö, artinya di bawah tanah. Dalam mite yang berasal dari tradisi Niha, Manusia, dan bukan dari mereka sendiri, mereka tetap dilukiskan agak negatif dengan perikemanusiaan yang primitif.
3. Indikasi dari segi mayoritas – minoritas
Karena jumlah gua yang layak dihuni terbatas, maka orang yang dulu hidup di dalam gua tentu tidak begitu banyak. Sebaliknya pemukiman suku Bela (Ono Mbela) atau penghuni pohon gampang terdapat, karena seluruh pulau Nias dahulu diliputi hutan tropis. Rupanya 1.000 tahun yang lalu, di Nias masih banyak orang hidup di atas pohon. Mereka berkulit putih (ciri khas orang Nias sampai sekarang) dan biasanya bersikap ramah. Mereka mengklaim marga segala satwa. Maka Niha, Manusia, yang ingin memburu, lebih dahulu harus meminta izin dari mereka dengan memberi persembahan (be’elö). Praktek ini berakhir, karena pengaruh agama dan karena marga satwa sudah punah. Kesimpulan dari uraian di atas ini dirumuskan dalam hipotese sebagai berikut:
Suku Bela pada zaman dulu merupakan grup etnis terbesar di Nias. Di Sumatra Utara terdapat suatu suku yang bernama Belah. Boleh jadi mereka ini serumpun dengan Bela di Nias. Bahasa Nias tidak mengenal huruf mati sebagai penutup kata. Oleh karena itu Belah di Sumatra dan Bela di Nias boleh jadi sama. Seandainya keturunan Bela ini, Ono Mbela, dan para penghuni gua adalah dua etnis yang berbeda dengan bahasa yang berbeda, maka penghuni gua (minoritas) harus mengalah terhadap bahasa mayoritas penghuni pohon, dilihat dari segi bahasa. Dengan kata lain: asal usul bahasa Nias harus dicari dalam suku “Bela” yang hidup dulu di atas pohon.
4. Nama-nama kuno yang konsisten sebagai indikasi asal usul bahasa Nias
Bertolak dari hipotese di atas ini tentang suku Bela sebagai grup etnis terbesar di Nias dapat dibayangkan bahwa suku Bela itu, yang ratusan atau ribuan tahun lamanya akrab dengan hutan dan dengan margasatwa, sangat berpengaruh dalam pemberian nama kepada segala makhluk hidup di dunia Nias. Dan kita dapat bayangkan pula, bahwa di antara sekian banyak nama pohon dan tumbuhan serta nama-nama binatang dan insek dalam bahasa Nias sekarang masih terdapat relik-relik bahasa kuno sebagai indikasi dalam penelitian asal usul bahasa Nias. (Pada akhir tulisan ini akan diuraikan sejumlah nama Flora dan Fauna dalam bahasa Nias). Nama-nama ikan dan binatang laut yang lain dapat diabaikan. Dilihat dari segi konsistensi satu bahasa, tentu bahasa-bahasa di tepi pantai Samudera lebih cepat dipengaruhi dari luar. Begitu pula nama-nama binatang besar seperti rusa, kijang, babi hutan dsb. lebih cepat dapat diubah dan disesuaikan dengan bahasa pendatang dari seberang.
Nama-nama geografis (pulau, sungai dan gunung) seringkali sangat konsisten. Begitu pula istilah-istilah seksualitas tidak cepat diubah, melainkan menjadi warisan turun-temurun karena merupakan bahasa tabu.
5. Bahasa minoritas mengalah
Suatu contoh: Misionaris Zending yang pertama tiba di Nias pada tahun 1865. Waktu itu para penghuni Pulau Hinako di sebelah barat Pulau Nias masih memakai bahasa asli mereka dari Sulawesi, bahasa Bugis. Tetapi sekitar tahun 1900 mereka sudah memakai bahasa Nias. Steinhart (1924 – 1939) misionaris di Pulau Tello di sebelah selatan Pulau Nias, mengatakan bahwa di sana masih hidup beberapa orang yang tahu bahasa Bekhua (begini sebutan bahasa orang Bugis di Nias), tetapi tidak lagi mengerti artinya. Orang Bugis dari Sulawesi Selatan sekitar 250 tahun yang lalu berlabuh di pulau Simeulue, di pulau Nias dan di Kepulauan Batu. Di mana mereka mendapat pulau kosong, di situ mereka memberi nama pada pulau-pulau bersangkutan. Di Kepulauan Batu sekian banyak nama dari 101 pulau itu masih berasal dari bahasa Bekhua. Orang keturunan Nias, yang baru kemudian memasuki Kepulauan Batu sebagai transmigran, tetap memakai nama pulau-pulau tersebut sampai sekarang. Artinya, suku pendatang yang merupakan minoritas mengalah, harus mengorbankan bahasa ibu sendiri, karena bahasa setempat atau bahasa mayoritas adalah dominan. Tetapi di bidang tertentu selalu terbuka kemungkinan, menemukan relik-relik bahasa dari suku minoritas itu.
Sama halnya dengan kelompok orang Cina di Nias. Seandainya benar hipotese di atas, bahwa ratusan tahun yang lalu sekelompok orang Cina memasuki pulau Nias, kendatipun mereka unggul dalam banyak hal, namun mereka mengalah terhadap bahasa setempat. Mereka menyesuaikan diri dengan bahasa setempat.
6. Indikasi dari mite-mite Nias
Tradisi lisan di Nias rupanya sudah lama mengenal grup-grup etnis yang berbeda. Ada 6 grup penghuni Nias yang disebut sebagai keturunan ibu Sirici: Bela, Nadaoya, Cuhanaröfa, Sihambula, Bekhu Nasi, Bekhua). Mereka ini digolongkan dalam tambo Nias yang pertama. Baru kemudian dalam tambo Nias yang kedua sebagai keturunan dari ibu Nazaria disebut Niha (Manusia) atau Ono Niha (Anak Manusia). Menurut tradisi lain masyarakat Nias terdiri dari tiga etnis yang besar yaitu
a. Orang dengan kepala besar (sebua gazuzu) yang dari bawah (moroi tou).
b. Orang yang putih (niha safusi) dari atas (moroi yawa), Ono Mbela di pohon.
c. Dan akhirnya golongan Manusia: Niha.
Sekitar tahun 1880, kedua misionaris Zending, Sundermann dan Thomas, mencatat dua buah silsilah (“Der Stammbaum der Niasser”) di Nias Utara. Mereka menerima informasi dari keturunan Manusia, golongan ketiga. Tidak lama sesudahnya Elio Modigliani, antropolog Italia, meneliti kedua silsilah itu di lapangan dan membenarkannya. Garis besar kedua silsilah itu sbb.: Golongan Manusia sebagai informan mengakui keberadaan etnis lain yang sudah lama ada di Nias. Mereka itu disebut pohon pertama, dilukiskan agak negatif, dituturkan secara singkat dan seolah-olah mereka itu hanya satu etnis saja. Tetapi dengan panjang lebar dilukiskan pohon kedua karena merupakan silsilah sendiri, silsilah Manusia.
Seandainya golongan kedua di atas, yaitu orang yang berkulit putih, merupakan golongan yang dominan di Nias pada zaman dulu (dan sampai sekarang?), maka tradisi lisan tidak banyak menyampaikan informasi tentang mereka itu. Dan Arkeologi sama sekali tidak dapat memberikan keterangan tentang orang Bela, yang ratusan tahun lalu masih hidup di atas pohon. Tetapi yang masih dapat diharapkan ialah penelitian di bidang Linguistik dan melalui DNA.
7. Penelitian DNA
Pada tahun 2002 dan 2003 penelitian DNA telah diawali di pulau Nias melalui Prof. Dr. med. Ingo Kennerknecht dari “Institute of Human Genetics, Westfälische Wilhelms-Universtät MĂĽnster, Germany”. Penelitian DNA itu diadakan atas undangan Museum Pusaka Nias dan dengan kerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Nias. Rupanya penelitian DNA jauh lebih rumit dan tidak begitu cepat diperoleh hasilnya seperti di bidang arkeologi. Secara spontan, Prof. Dr. med. Ingo Kennerknecht berkesan bahwa memang Fisiognomi masyarakat Nias cepat diperoleh, wajah-wajah Nias menunjukkan banyak perbedaan. Walaupun begitu, di antara ribuan orang Batak dan orang lain, satu orang Nias mungkin cepat dikenal dari fisiognomi.
Sumber: Media Warisan Edisi No. 38-39 Tahun IV April 2004
Daftar marga Nias
Amazihönö
Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwao, Bawo, Bali, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawolo, Bulu'aro, Bago,bidaya, Bawaulu, Bululewiö
Dachi, Dachi Halawa, Daeli, Dawölö, Dohare, Dohöna, Duha, Dao, Daya
Fau, Farasi, Fakho, Finowa'a, Fatemaluo, Fama'ugu
Gaho, Garamba, Gea, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Ge'e
Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura, Halu
Laia, Lafau, Lahagu, Lahomi, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lö'i, Lömbu, Lahöhö, Lature, Lazira, Luaha, Luahambowo
Maduwu, Manaö, Mandrehe, Maruao, Maruhawa, Marulafau, Marundruri, Mendröfa, Maruabaya, Manaraja, Molö, Möhö
Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe
Saoiagö, Sarumaha, Sihura, Safuru gara, Saota, Sadawa
Tafönaö, Telaumbanua, Talunohi
Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö, Warasi, Wate
Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö, Ziliwu, Zoromi, Ziraluo. Zadawa, Zalögö
EMPAT CARA UNTUK MENJADI KAYA DAN SUKSES MEMIMPIN
Untuk Menambah Semangat Dan Usul Untuk Putra Putri Nias Yang Sangat Variasi Dan Masih Bisa Diterima Dengan Akal Sehat,Saya Menulis Beberapa Pengalaman Yang Mana Ini Saya Alami Sendiri Meskipun Saya Belum Melakukan Apa2 Sama Sekali,Tapi Ini Saya Tulis Berdasarkan Pengalaman Yang Saya Alami Dari Saya Angka Nol(Zero) Keangka Yan Mulai Di Perhtungkan, Ada Empat Cara Untuk Menjadi Kaya/Diperhitungkan.
1. WARISAN
2. SEKOLAH TINGGI
3. AHLI
4. KERJA KERAS
Kalau Seorang Anak/Cucu Konglomerat Mendapatkan Apa Yang Di Inginkannya Kita Tidak Perlu Heran Karna Uang Orang Tuanya Atau Kakeknya Memang Banyak, Yang Jadi Pertanyaan Apakah Kita Seorang Anak Konglomerat? Biasanya Kalo Ini Jadi Pemimpin Tidak Bisa Merasakan Apa Yang Dirasakan Orang Yang Susah Karna Dia Memang Tak Pernah Susah.
Seseorang Akan Mencapai Apa Yang Dinginkannya Kalau, Dia Punya Sekolah Yang Tinggi Mempunyai Nilai Yang Bagus Dan Memang Dia Punya Skill Yang Diandalkan,Ini Akan Memudahkan Dia Mendapatkan Pekerjaan Dan Bayaran Yang Tinggi,Pertanyaan Apakah Anda Sudah Mempunyai Sekolah Yang Tinggi Dan Apakah Anda Mendapatkan Nialai Yang Murni? Kalau Seandainya Orang Ini Jadi Seorang Pemimpin Ada Dua Gendang Pinter Korupsi Dan Memang Bisa Jadi Pemimpin Hebat .
Yang Mempunyai Keahlian Contoh,Aktor,Artis,Pesulap,Atlet,Dan Banyak Lagi Yang Lain,Apakah Kita Punya Keahlian? Kalau Yng Begini Jadi Pemimpin Akan Banyak Rintangan Karna Memang Bukan Keahlianya Memimpin.
Orang Yang Sukses Berdasarkan Kerja Keras Ini Sulit Untuk Di Tebak Dan Yang Satu Ini Di Dukung Point 2 Dan 3 Akan Sangat Luar
Biasa,Kita Lihat Dengan Kaca Mata Masing2 Sangat Sulit Untuk Serius Dan Apa Adanya Dan Biasanya Sangat Peduli Dengan Orang Kecil,Namun Sangat Sulit Untuk Lolos Jadi Pemimpin,Apalagi Berkiprah Di Dunia Politik,Karna Politik Itu Identik Dengan Kekuasan Dan Kekuasaan Tidak Ada Yang Didapat Tanpa Direbut.Kalupun Ada Yang Bisa Lolos Itu Akan Terbawa Sama Sikon Karna Kalau Yang Bersangkutan Tidak Melenceng Bisa Jadi Orang Kepercayannya Atau Yang Pro Kepada Kepemimpinan,Mari Kita Bertanya Pada Setiap Kita Termasuk Saya Yang Menulis Apakah Kita Mendapatkan Yang Kita Inginkan Dengan Kerja Keras Dan Jalan Yang Benar?
Menurut Hemat Saya Pemimpin Yang Yang Betul Dan Benar Adalah 'Tuhan'
Tulisan Ini Tidak Bermaksud Menyudutkan Atau Menyindir Atau Apapun Bentuknya,Semata-Mata Mengingat Apa Yang Terjadi Dan Saya Alami,Kalau Ada Kesamaan Itu Hanya Kebetulan.
Kamus bahasa nias
Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis dari mana asalnya. Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal.Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a,e,i,u,o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan "e" seperti dalam penyebutan "enam" ).
Penulisan
Untuk menulis sebuah kalimat dalam bahasa nias, harus memperhatikan beberapa aturan :
1. Dalam penulisan kata yang terdapat huruf double harus menggunakan tanda pemisah (') contoh kata : Ga'a ( abang.
2. Semua kata dalam bahasa nias asli selalu ditutup oleh huruf vokal.
CONTOH KALIMAT DALAM BAHASA NIAS
manöre nere ba simpang perawa, mö'faigi kawa saki. u ohe gowi rio, ba nomo fökhö u tabe ia. maka maka kacang fefu ba minu minu kampu. so fandrita moroi batusoyo, i waö khö nawegu "semoga cepat sembuh dan diberikan hati yang lembu). uwalinga hati nia so lembu/karabao, maksud nia " hati yang lembut". HALELUYA OWI
Kosa kata
Beberapa kosa kata bahasa Nias dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.